Pro Ecclesia Et Patria

Bila hatimu terasa berat hadapilah dengan senyum. Bila bebanmu terasa berat hadapilah dengan senyum. Bila imanmu terasa goyah hadapilah dengan doa. Bila terangmu terasa redup panggilah nama Kristus.

Jumat, 05 Desember 2008

Ketika Aku Balik Sisi Gunung Brintik Semarang

Gunung Brintik, Senin 01 Desember 2008
Pukul 17.00 WIB

Sanggar Serabi, layaknya sebuah rumah yang di cat berbagai warna yang mencolok dengan membentuk berbagai ornamen unik. Sebuah sanggar yang berdiri di kawasan Gunung Brintik RT 06, berada di daerah perkampungan di atas bukit. Sanggar ini berdiri pada bulan April 4 tahun silam. Diambilnya nama Serabi ini sendiri mempunyai arti Sekolah Rakyat Brintik. Dimana para siswa-siswi umumnya adalah anak-anak jalanan dan sebagian besar dari mereka adalah anak rakyat Brintik. Di sanggar ini, mereka diajari berbagai macam bentuk kegiatan, seperti ilmu pelajaran sekolah, band atau musik lainnya, dan visualisasi atau pementasan seni drama. Beragam cerita menarik mengenai Sanggar Serabi ini. Salah satu sharing kami dapatkkan dari seorang pemuda berusia 22 tahun, sebut saja dia Ari. Mas Ari ini merupakan salah satu pemuda yang berperan dalam terbentuknya Sanggar Serabi . Ketika kami meminta informasi seputar sanggar dan isinya, Mas Ari sungguh antusias dengan kedatangan kami, dan dengan sukacita menceritakan sekilas tentang sanggar mungil ini.
Alkisah....
Sebelum sanggar ini di berdiri sekitar tahun 1996 ada paguyuban yang namanya PAJS ( Paguyuban Anak Jalanan Semarang). PAJS inilah yang menjadi tempat berkumpulnya anak-anak jalanan di Semarang. Ternyata keberadaan PAJS tidak senangi oleh beberapa pihak, seperti preman-preman di daerah tersebut termasuk juga pemerintah. Sampai suatu saat bascamp PAJS diserang oleh preman-preman yang katanya merupakan suruhan dari pemerintah kota Semarang untuk membubarkan aksi PAJS ini yang rasionalnya di duga telah mengganggu kenyamanan dalam kota. Banyak anak jalanan (PAJS) ini dikejar bahkan sampai ada yang dibunuh. Saat aksi penyerangan besar, sekitar tahun 2000, anak-anak jalanan yang ketakutan ini akhir nya pergi menyebar, ada yang berlindung ke Jogjakarta atau daerah-daerah lain yang lebih aman dan bergabung dengan anak-anak jalanan di kota tersebut. Ketika keadaan dimungkinkan sudah mulai membaik, pada tahun 2004 anak-anak jalanan ini pun kembali ke semarang dan mempunyai bascamp di sanggar serabi ini.

Berbicara tentang Sanggar Serabi, ada sosok yang dapat dikatakan sebagai orang yang melopori berdiri nya sanggar ini. Dia adalah ibu Prapto. Seorang pedagang keliling, yang mempunyai tiga orang anak. Anak beliau dulunya juga pernah menjadi anak jalanan. Mulai tahun 1996 beliau sering menampung anak-anak jalanan di daerah semarang khususnya di daerah Tugu Muda. Di sebuah rumah sederhana bu Prapto menampung anak” jalanan yang sedang sakit atau membutuhkan makanan. Jika dilihat keluarga ini juga tidak begitu kaya bahkan bisa dikatakan pas-pasan. Di rumahnya yang sederhana pernah di tempati sekittar puluhan anak jalanan yang membutuhkan tempat tidur. Saat ditanyai kenapa beliau tertarik menampung anak” jalanan beliau menjawab kalau dia merasa kasihan akan kehidupan anak” ini, disamping itu juga kebersamaan dan kekerabatan anak” ini juga sangat kuat, kadang ibu Prapto juga merasa rindu akan berada bersama anak” jalanan. Dengan keterbukaan hati dia menerima anak” jalanan yang datang kerumahnya yang kadang minta dikeroki ada juga yang datang minta makan, selain itu juga banyak anak” jalanan yang datang ke rumah beliau hanya ingin curhat dengan beliau.
Saat kami datangi kediamannya beliau banyak bercerita mengenai kehidupannya beserta anak” jalanan. Jadi bagi anak” jalanan yang mengenal bu Prapto mereka menganggap ibu ini sebagai orang tua mereka. Hal mulia ini justru menjadi gunjingan penduduk Brintik, para tetangga Ibu Prapto justru malah membenci dan memusuhi Ibu Prapto karena dianggap telah mencemarkan perkampungan dengan menampung anak-anak jalanan liar yang dianggap sampah pemerintah. Walaupun demikian, Ibu Prapto, dibantu mas Ari dengan keluarganya tidak mundur dari apa yang telah diputuskannya dalam membantu anak-anak jalanan tersebut. Ibu Prapto juga menceritakan ulang aksi penyerangan besar oleh preman-preman kota, sekitar tahun 2000 lalu, anak-anak jalanan yang ketakutan waktu itu akhir nya pergi menyebar, dibantu oleh Ibu Prapto, Mas Ari dan anak-anak jalanan ada yang berlindung ke Jogjakarta dan daerah-daerah lain dan bergabung dengan anak-anak jalanan di kota tersebut. Selama mengungsi ternyata Ibu Prapto dan keluarga selalu datang seminggu sekali ke Jogjakarta untuk mengirimkan beras, atau pakaian seadanya, atau bahan pokok lainnya untuk bertahan hidup anak-anak jalanan tersebut. Ketika keadaan dimungkinkan sudah mulai membaik, pada tahun 2004 anak-anak jalanan ini pun kembali ke semarang dan mempunyai bascamp di sanggar serabi ini.
Dari sinilah lahir sanggar Sarabi ini dengan bantuan Yayasan Setara peduli akan anak-anak jalanan ini dan Setara inilah yang mengontrakan rumah yang berada di samping rumah Bu Prapto yang kemudian dijadikan sebagai sanggar untuk anak” jalanan ini yang di kelola oleh anak ibu Prapto. Ketika ditanyai apakah ada bantuan yang mereka dapat untuk perkembangan sanggar ini. Beliau mengatakan untuk masalah bantuan, dari pemerintah sendiri belum pernah membantu mereka, bahkan pemerintah tidak mau menanggapi aksi mereka. Biasanya yang membantu mereka adalah yayasan Setara, selain itu sebuah gereja juga memberi bantuan bagi mereka khususnya dalam bid. Kesehatan, bila ada anak yang harus dirujuk ke rumah sakit, gereja inilah atas permintaan Ibu Prapto yang telah membiayai mereka berobat. Selain itu dalam kegiatan di lapangan, seperti mengamen, pernah ada sejarah yaitu Biara di Gedangan yang dipelopori Sr. Louis plus suster-suster yang lainnya juga ikut membimbing anak-anak jalanan ini, sekaligus mengawasi mereka dalam melakukan kegiatan di jalanan. Pendampingan ini hanya berlangsung beberapa saat, karena Sr. Louis meninggal dunia dalam usia yang sangat muda, yaitu 31 tahun karena sakit. Sedangkan suster yang lainnya juga ditugaskan ke luar kota dan tidak ada yang meneruskan pelayanan ini untuk anak-anak jalanan.
Hal ini membuat Ibu Prapto sedih, tapi hal itu secepatnya dikubur dalam-dalam, karena Ibu Prapto masih ingin membantu mereka sebisa mungkin, sedangkan anak-anak jalanan sendiri sudah menganggap Ibu Prapto sebagai Ibu yang mereka butuhkan setiap waktu. Hal ini semakin menyemangatkan jiwa Ibu Prapto dalam membantu anak-anak jalanan itu dengan ikhlas hingga saat ini.

2 komentar:

Odi Shalahuddin mengatakan...

Menyimak tulisannya. Menarik. Kebetulan saya juga pernah menulis tentang kiprah Bu Prapto, dan sekarang juga lagi mencoba menuliskan tentang kegiatannya membantu anak-anak jalanan Semarang

teres mengatakan...

terima kasih...\
memang begitu tersentuh ketika benar2 menapaki daerah aak2 serabi..
kini apa kabarnya mereka ya?